Perceraian & Anak: Siapa yang Berhak Mengasuh?

Terimakasih telah mengunjungi halaman ENVERITA.COM, kami sangat menghargai waktu anda dan berharap anda menemukan apa yang anda cari. Jangan ragu untuk menghubungi kami jika ada pertanyaan atau kebutuhan lebih lanjut.



Perceraian memang tak pernah mudah. Di balik keputusan untuk berpisah, seringkali ada luka emosional yang tak terlihat. Tapi dari semua kerumitan itu, satu hal yang paling rumit dan menyentuh hati adalah: hak asuh anak. Karena bagi anak, perpisahan orang tua bukan cuma soal pindah rumah—itu adalah perubahan dunia.

⚖️ Dasar Hukum Hak Asuh Anak di Indonesia

Dalam hukum Indonesia, hak asuh anak setelah perceraian diatur berdasarkan jenis pernikahan:

  1. Untuk pasangan Muslim: Mengacu pada Kompilasi Hukum Islam (KHI), terutama Pasal 105.

  2. Untuk pernikahan non-Muslim: Mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

  3. Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002, jo. UU No. 35 Tahun 2014) juga digunakan sebagai payung hukum universal dalam melindungi hak-hak anak, termasuk hak atas pengasuhan.

👩‍👧 Siapa yang Berhak Mengasuh Anak?

➤ Anak Di Bawah 12 Tahun

Biasanya, anak yang masih kecil akan diasuh oleh ibunya, seperti tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105, kecuali:

  • Ibu terbukti tidak mampu secara mental atau fisik

  • Ibu tinggal di lingkungan yang tidak baik bagi tumbuh kembang anak

  • Ibu terbukti melakukan kekerasan, penelantaran, atau penyalahgunaan

➤ Anak 12 Tahun ke Atas

Anak yang sudah lebih besar kadang diberikan hak untuk memilih tinggal dengan ayah atau ibunya, tergantung keputusan hakim. Tapi, lagi-lagi: kepentingan terbaik anaklah yang jadi kunci.

💰 Apakah yang Kaya Pasti Dapat Hak Asuh?

Ini salah kaprah yang sering muncul. Banyak orang mengira bahwa kemampuan ekonomi adalah segalanya. Padahal, hakim mempertimbangkan banyak aspek, antara lain:

  • Kedekatan emosional anak dengan orang tua

  • Kualitas lingkungan tempat tinggal

  • Waktu dan perhatian yang bisa diberikan

  • Riwayat pengasuhan selama ini

  • Stabilitas psikologis orang tua

Jadi, orang tua yang kaya secara materi, tapi cuek dan sibuk, bisa saja kalah dari pihak yang lebih sederhana tapi penuh perhatian dan konsisten.

👥 Hak Kunjungan: Jangan Putuskan Tali Kasih

Kalau satu pihak dapat hak asuh, bukan berarti pihak lainnya kehilangan hak sebagai orang tua. Ia tetap:

  • Berhak mengunjungi anak secara rutin

  • Wajib memberikan nafkah anak

  • Bisa berkomunikasi dengan anak melalui telepon, video call, atau pesan

Sayangnya, dalam praktiknya sering terjadi pelanggaran hak kunjungan. Misalnya:

“Kamu nggak bayar nafkah, jadi nggak boleh ketemu anak!”

Padahal, hak anak untuk bertemu kedua orang tuanya tidak bisa dibatalkan sepihak. Kalau hal ini dilanggar, kamu bisa melapor ke pengadilan atau lembaga perlindungan anak.

🚨 Penyalahgunaan Hak Asuh: Anak Bukan Alat Balas Dendam

Ini kenyataan pahit yang sering terjadi: anak dijadikan alat untuk menyakiti mantan pasangan. Entah dengan cara memutus komunikasi, menjelek-jelekkan orang tua lain di depan anak, atau bahkan menjadikan hak kunjungan sebagai “senjata”.

Ini bukan cuma tidak sehat, tapi bisa berdampak buruk pada perkembangan psikologis anak, seperti:

  • Rasa bersalah yang tidak perlu

  • Konflik loyalitas

  • Gangguan emosional dan kepercayaan diri

🤝 Solusi Damai Itu Masih Mungkin

Kalau kamu sedang dalam proses perceraian atau konflik hak asuh, coba dulu cara-cara damai:

  • Mediasi keluarga atau pengadilan

  • Membuat perjanjian tertulis bersama

  • Libatkan psikolog anak untuk menilai kondisi ideal

Kalau pun harus masuk ke ranah hukum, pastikan:

  • Kamu punya bukti yang lengkap

  • Dapat pendamping hukum yang paham isu keluarga

  • Fokus kamu tetap: apa yang terbaik untuk anak

💡 Jangan Lupa, Anak Juga Manusia

Perceraian adalah antara suami dan istri. Tapi anak tetap butuh kedua orang tuanya, apa pun yang terjadi. Mereka bukan barang yang bisa diperebutkan, bukan juga alat untuk membalas sakit hati.

Dalam setiap keputusan hukum tentang hak asuh, prinsipnya satu: Kepentingan terbaik anak” harus jadi prioritas utama. Bukan ego, bukan dendam, dan bukan emosi.

Jadi, yuk kita bantu generasi berikutnya tetap tumbuh sehat—secara fisik, mental, dan batin—meski orang tuanya berpisah.


LihatTutupKomentar