10 Tradisi Unik Islam Nusantara yang Masih Lestari Hingga Sekarang

Terimakasih telah mengunjungi halaman ENVERITA.COM, kami sangat menghargai waktu anda dan berharap anda menemukan apa yang anda cari. Jangan ragu untuk menghubungi kami jika ada pertanyaan atau kebutuhan lebih lanjut.




Indonesia bukan hanya negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, tapi juga punya kekayaan budaya Islam yang luar biasa. Sejak kedatangan Islam berabad-abad lalu, lahirlah tradisi-tradisi yang memadukan ajaran agama dengan budaya lokal. Tradisi ini tak hanya jadi warisan leluhur, tapi juga cermin betapa lenturnya dakwah Islam yang membaur dengan kearifan setempat.

Di artikel ini, kita akan membahas sepuluh tradisi unik Islam Nusantara yang masih lestari hingga kini, lengkap dengan sejarah, makna, dan pesona budayanya. Cocok banget buat kamu yang cinta sejarah atau sekadar ingin tahu kekayaan budaya kita sendiri.

๐Ÿ•Œ 1. Sekaten: Merayakan Maulid Nabi ala Kerajaan Jawa

Sekaten digelar setiap bulan Rabiul Awal untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tradisi ini bermula di Kesultanan Demak, lalu diwariskan ke Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta.

Yang unik, Sekaten bukan hanya acara religi. Ada pasar malam besar, pertunjukan gamelan sekaten (gamelan khusus yang hanya dibunyikan setahun sekali), hingga upacara membawa gunungan – tumpukan hasil bumi yang diperebutkan masyarakat karena dipercaya membawa berkah.

Bagi orang Jawa, Sekaten adalah wujud rasa syukur dan ajang silaturahmi massal. Sampai hari ini, Sekaten tetap meriah dan jadi daya tarik wisata budaya.

๐Ÿš 2. Kenduri & Tahlilan: Simbol Kebersamaan dan Doa

Kenduri atau selamatan adalah tradisi berkumpul, makan bersama, dan berdoa untuk mendoakan leluhur atau merayakan momen penting seperti kelahiran, pernikahan, hingga kematian.

Tahlilan biasanya digelar pada hari ke-3, ke-7, ke-40, dan seterusnya setelah seseorang wafat. Meski sering jadi perdebatan, banyak ulama sepakat bahwa inti tradisi ini adalah sedekah, silaturahmi, dan membaca doa untuk almarhum.

Yang bikin hangat, tahlilan dan kenduri membuat tetangga saling bantu, masak bersama, dan mempererat ikatan sosial. Bukan soal wajib atau tidak, tapi tentang rasa kebersamaan.

๐ŸŒพ 3. Grebeg: Gunungan Hasil Bumi untuk Rakyat

Grebeg adalah tradisi Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta untuk merayakan hari besar Islam seperti Idul Fitri, Idul Adha, dan Maulid Nabi.

Inti acaranya adalah arak-arakan gunungan – tumpukan hasil bumi seperti sayur, kacang, cabai, dan nasi yang disusun berbentuk kerucut. Setelah didoakan, gunungan itu jadi rebutan masyarakat. Bukan soal lapar, tapi simbol berkah dan harapan kemakmuran.

Tradisi Grebeg jadi bukti bagaimana dakwah Islam di tanah Jawa menyatu dengan budaya agraris masyarakat.

๐Ÿฎ 4. Tabuik di Pariaman: Mengenang Kisah Karbala

Di Sumatera Barat, setiap 10 Muharram digelar Tabuik – upacara mengenang wafatnya cucu Nabi, Imam Husain, di Karbala. Tradisi ini diwariskan oleh pedagang dan ulama keturunan India.

Warga Pariaman membuat menara raksasa bernama tabuik setinggi hingga belasan meter, lalu diarak ke pantai dan akhirnya dilarung ke laut. Tabuik bukan hanya ritual duka, tapi juga festival rakyat yang penuh warna, musik, dan kesenian tradisional.

Meski bermula dari Syiah, kini Tabuik lebih sebagai tradisi budaya, mempererat kebersamaan dan menarik wisatawan.

๐Ÿ›• 5. Maulid Adat di Bima dan Buton: Doa dan Seni

Di NTB (Bima) dan Sulawesi Tenggara (Buton), Maulid Nabi dirayakan dengan cara khas. Ada prosesi membawa makanan, bacaan syair pujian kepada Nabi (barzanji), hingga pertunjukan seni tradisional.

Warga Bima menyajikan “Wura Bongi Monca” – nasi kuning dihias telur rebus berwarna-warni, simbol doa dan rasa syukur. Sementara di Buton, perayaan Maulid jadi ajang saling mengunjungi dan berbagi.

Tradisi ini mencerminkan cinta mendalam masyarakat Nusantara kepada Rasulullah.

๐Ÿ•Œ 6. Ngaben Islam di Bali: Harmoni Tradisi dan Tauhid

Di Bali, ada komunitas muslim Bali (seperti di Kampung Islam Kepaon) yang punya tradisi unik: ngaben Islam. Berbeda dari ngaben Hindu yang membakar jenazah, ngaben Islam adalah ritual doa dan tahlil mendoakan leluhur.

Tradisi ini menjaga harmoni: secara aqidah tetap sesuai Islam, tapi adat dan suasana kebersamaan khas Bali tetap hidup. Contoh nyata bagaimana Islam dan budaya bisa selaras.

๐ŸŒ™ 7. Nujuh Bulanan: Doa untuk Ibu dan Bayi

Di Jawa dan Madura, ada tradisi nujuh bulanan (tingkepan) saat kehamilan memasuki usia tujuh bulan. Keluarga menggelar doa, pembacaan ayat suci, dan memberi nasi tumpeng.

Meski ada pengaruh Hindu-Buddha, tradisi ini kemudian dilengkapi doa-doa Islami, seperti shalawat dan surah Yusuf. Intinya: doa agar ibu dan bayi selamat.

Tradisi ini jadi momen bahagia keluarga besar berkumpul, berbagi syukur, dan mempererat silaturahmi.

๐Ÿงบ 8. Megengan: Sambut Ramadhan dengan Maaf dan Sedekah

Di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah, masyarakat menggelar megengan menjelang Ramadhan. Artinya: “menahan diri”.

Mereka berkumpul, membaca doa, lalu membagikan “apem” – kue dari tepung beras. Apem berasal dari kata “afwan” (maaf). Simbol saling memaafkan sebelum masuk bulan suci.

Megengan sederhana, tapi sarat makna: bersihkan hati sebelum puasa.

๐ŸŒธ 9. Mappacci: Ritual Pernikahan Bugis yang Penuh Doa

Di Sulawesi Selatan, masyarakat Bugis menggelar mappacci malam sebelum akad nikah. Keluarga memberi restu sambil menempelkan daun pacar (inai) di telapak tangan calon pengantin.

Proses ini diiringi doa agar rumah tangga langgeng. Tradisi Islam bertemu budaya Bugis, jadi prosesi yang khidmat sekaligus haru.

๐ŸŒŠ 10. Sedekah Laut: Syukur Nelayan, Doa Islami

Di pantai selatan Jawa, nelayan rutin gelar sedekah laut: mengarak kepala kerbau dan hasil bumi ke tengah laut, simbol syukur atas rezeki laut.

Dulu penuh unsur animisme, kini di banyak daerah dikombinasi doa-doa Islami oleh ulama setempat. Ini bukti adaptasi: tradisi lama tetap hidup, tapi nilai tauhid tetap dijaga.

๐ŸŒŸWarisan yang Harus Dijaga

Tradisi-tradisi ini tak pernah lepas dari pro dan kontra. Tapi intinya, semua lahir dari niat baik: rasa syukur, cinta Rasul, sedekah, dan silaturahmi.

Sebagai generasi sekarang, tugas kita bukan hanya merayakan, tapi juga menjaga agar tradisi ini tetap relevan, bersih dari syirik, dan selalu jadi sarana kebaikan.


LihatTutupKomentar