Tak Pernah Cukup: Seni Merasa Cukup di Dunia yang Tidak Pernah Puas (Bab 3 – The Psychology of Money oleh Morgan Housel)

Terimkasih telah mengunjungi halaman ENVERITA.COM, kami sangat menghargai waktu anda dan berharap anda menemukan apa yang anda cari. Jangan ragu untuk menghubungi kami jika ada pertanyaan atau kebutuhan lebih lanjut.



(Bab 3 – The Psychology of Money oleh Morgan Housel) Dalam bab ketiga buku The Psychology of Money, Morgan Housel membawa kita menyelami sebuah pertanyaan sederhana namun kompleks: Kapan kita merasa cukup? Bab ini berjudul “Never Enough” dan mengangkat tema yang sangat relevan dengan realitas kehidupan modern — tentang keserakahan, batasan kepuasan, dan jebakan perbandingan sosial.

Ketika “Lebih Banyak” Tidak Pernah Cukup

Housel mengawali bab ini dengan kisah nyata tentang Rajat Gupta dan Bernie Madoff, dua tokoh sukses yang telah mencapai puncak kekayaan, kekuasaan, dan pengaruh. Namun alih-alih berhenti dan menikmati hasil kerja keras mereka, keduanya terus mengambil risiko demi meraih lebih. Ironisnya, bukan hanya tidak mendapatkan lebih banyak, mereka justru kehilangan segalanya — reputasi, kebebasan, dan bahkan kehidupan yang damai.

Melalui kisah ini, Housel menyampaikan pesan penting:

"Tidak ada batas atas dari keserakahan, kecuali kamu sendiri yang menciptakannya."

Kesuksesan tanpa kemampuan untuk berhenti adalah jalan cepat menuju kehancuran. Inilah yang membuat konsep “cukup” menjadi tidak hanya penting, tetapi juga menyelamatkan.


“Cukup” Adalah Kekuatan, Bukan Kelemahan

Dalam budaya yang mendewakan pencapaian materi dan membandingkan status sosial lewat angka—berapa besar rumahmu, seberapa mahal mobilmu, atau berapa digit saldo rekeningmu—rasa cukup sering kali dianggap sebagai sikap malas atau tidak ambisius. Padahal, menurut Housel, kemampuan untuk berkata “cukup” adalah bentuk tertinggi dari kebijaksanaan dan kekuatan diri.

Mengutip Housel:

“Modern capitalism is a pro at two things: generating wealth and generating envy.”
(Kapitalisme modern ahli dalam dua hal: menciptakan kekayaan dan menciptakan rasa iri.)

Dengan kata lain, kita tidak hanya terdorong untuk menjadi lebih kaya, tetapi juga merasa kalah jika orang lain lebih dari kita — meski kita sendiri sudah punya cukup.

Fakta Menarik: Ilmu Tentang Kepuasan

  • Sebuah studi dari Princeton University (oleh Daniel Kahneman dan Angus Deaton) menemukan bahwa setelah seseorang mencapai penghasilan sekitar $75.000 per tahun, peningkatan pendapatan tidak lagi berbanding lurus dengan peningkatan kebahagiaan.

  • Psikolog menyebut fenomena ini sebagai “hedonic treadmill” — yaitu kecenderungan manusia untuk terus mengejar hal baru agar bahagia, namun akhirnya kembali ke titik awal secara emosional.

Perbandingan Sosial: Racun yang Tak Terlihat

Salah satu penyebab utama kita sulit merasa cukup adalah perbandingan sosial yang konstan. Saat kita melihat tetangga membeli mobil baru, teman memamerkan pencapaian finansial, atau influencer menunjukkan gaya hidup mewah, tanpa sadar kita merasa kurang — meski sebelumnya kita sudah merasa puas.

Padahal, kata Housel:

“You might be doing great, but someone else will always appear to be doing better.”
(Kamu mungkin sudah baik-baik saja, tapi akan selalu ada orang yang kelihatan lebih baik.)

Kesadaran bahwa membandingkan diri adalah perang yang tak pernah dimenangkan adalah langkah awal menuju ketenangan finansial.

Risiko dari Tidak Pernah Puas

Tanpa batasan yang jelas terhadap keinginan, kita mudah tergelincir dalam keputusan keuangan yang berisiko tinggi:

  • Menginvestasikan seluruh kekayaan dalam skema cepat kaya

  • Meninggalkan waktu bersama keluarga demi lembur terus-menerus

  • Mengorbankan kesehatan demi mengejar promosi atau bonus

Apa gunanya menjadi kaya jika harga yang dibayar adalah hidup yang tidak bisa dinikmati?

Cara Melatih Diri Merasa Cukup

  1. Tetapkan definisi pribadi tentang “cukup” – bukan berdasarkan pencapaian orang lain, tapi dari kebutuhan dan nilai-nilai hidupmu sendiri.

  2. Bersyukur aktif – bukan sekadar ucapan, tapi kesadaran penuh akan apa yang sudah kamu miliki.

  3. Kurangi konsumsi sosial media – karena di sana, semua orang terlihat “lebih baik” dan kamu hanya akan melihat potongan terbaik hidup mereka.

  4. Ingat apa yang kamu pertaruhkan – lebih dari sekadar uang, hidup juga soal waktu, relasi, dan kesehatan.

Kesimpulan

Bab “Tak Pernah Cukup” mengajak kita untuk tidak hanya berpikir tentang bagaimana mendapatkan lebih banyak uang, tetapi juga tentang bagaimana merasa cukup dengan apa yang kita miliki. Keputusan finansial terbaik bukanlah yang membawa kita menuju angka terbesar, tapi yang membawa kita pada kehidupan yang tenang, seimbang, dan bermakna.

Karena pada akhirnya, seperti yang ditulis Housel:

“There is no reason to risk what you have and need for what you don’t have and don’t need.”
(Tidak ada alasan untuk mempertaruhkan apa yang kamu miliki dan butuhkan demi sesuatu yang bahkan tidak kamu punya dan tidak kamu butuhkan.)


LihatTutupKomentar