Terimakasih telah mengunjungi halaman ENVERITA.COM, kami sangat menghargai waktu anda dan berharap anda menemukan apa yang anda cari. Jangan ragu untuk menghubungi kami jika ada pertanyaan atau kebutuhan lebih lanjut.
Pernah nggak kamu merasa berita soal ekonomi selalu terdengar mengkhawatirkan? Entah itu resesi, pasar saham jatuh, atau inflasi yang katanya "tidak terkendali." Kalau iya, kamu tidak sendirian. Di Bab 17 buku The Psychology of Money, Morgan Housel membahas kenapa pesimisme sering lebih dipercaya dan cepat menyebar dibandingkan optimisme, terutama saat berbicara soal uang.
Kenapa Kita Lebih Tertarik pada Kabar Buruk?
Secara psikologis, manusia memang lebih tanggap terhadap ancaman dibandingkan peluang. Ini bukan kebetulan, melainkan hasil dari proses panjang evolusi. Nenek moyang kita yang peka terhadap bahaya lebih mungkin bertahan hidup. Maka, sampai hari ini, otak kita masih "diprogram" untuk lebih waspada terhadap sinyal negatif.
Dalam dunia keuangan, sinyal negatif itu bisa berupa kabar tentang krisis ekonomi, PHK massal, atau kebangkrutan perusahaan. Tanpa sadar, kita cenderung lebih cepat mempercayai dan menyebarkan kabar buruk tersebut, meskipun belum tentu sepenuhnya benar atau akurat.
Pesimisme = Pintar?
Housel menyampaikan hal menarik: pesimisme sering kali terdengar lebih cerdas dan masuk akal. Kalau seseorang berkata, “Ekonomi akan ambruk tahun depan,” kita akan langsung duduk tegak dan mendengarkan. Tapi kalau ada yang bilang, “Keadaan akan baik-baik saja,” kita justru menganggapnya terlalu optimis atau bahkan naif.
Padahal, kalau kita lihat data jangka panjang, dunia justru lebih sering berkembang daripada runtuh. Pasar saham naik turun memang, tapi secara keseluruhan cenderung meningkat. Inovasi teknologi terus bermunculan. Bahkan setelah krisis besar seperti tahun 2008 atau pandemi 2020, ekonomi perlahan bangkit kembali.
Media dan "Daya Jual" Ketakutan
Satu faktor yang memperkuat pesimisme adalah media. Dalam persaingan merebut perhatian pembaca, headline negatif lebih efektif daripada berita yang membesarkan hati. Judul seperti “Pasar saham anjlok!” lebih mengundang klik dibandingkan “Pasar stabil selama 5 bulan terakhir.”
Efeknya? Banyak orang merasa dunia semakin buruk, meskipun realitanya tidak seburuk yang dibayangkan. Kita akhirnya hidup dalam lingkaran kekhawatiran yang terus diperkuat oleh berita dan komentar sosial media.
Optimisme Bukan Berarti Buta Risiko
Yang ditekankan Housel bukan agar kita jadi buta terhadap bahaya. Risiko tetap harus diwaspadai. Namun, perlu keseimbangan. Jangan biarkan rasa takut mengalahkan akal sehat dan harapan. Optimisme yang realistis—mampu melihat peluang sambil siap menghadapi tantangan—adalah cara yang lebih sehat dalam membuat keputusan, termasuk dalam urusan keuangan.
Penutup: Mengendalikan Cara Pandang
Bab ini mengajak kita untuk lebih sadar terhadap bias pikiran kita sendiri. Hanya karena pesimisme lebih menarik, bukan berarti selalu benar. Dan hanya karena sesuatu terdengar mengkhawatirkan, bukan berarti tak ada harapan.
Jika kita bisa belajar menyeimbangkan antara kewaspadaan dan harapan, maka kita bisa membuat keputusan finansial dengan lebih tenang dan bijaksana. Pada akhirnya, meskipun dunia tidak sempurna, selalu ada alasan untuk percaya bahwa masa depan tetap bisa lebih baik.
Catatan : Artikel ini merupakan rangkuman reflektif dari Bab 17 buku The Psychology of Money karya Morgan Housel. Untuk pemahaman lebih mendalam, kamu sangat disarankan membaca bukunya langsung.