Hukum Penyebaran Hoaks di Indonesia: Ancaman Serius di Era Digital

Terimakasih telah mengunjungi halaman ENVERITA.COM, kami sangat menghargai waktu anda dan berharap anda menemukan apa yang anda cari. Jangan ragu untuk menghubungi kami jika ada pertanyaan atau kebutuhan lebih lanjut.




Di era digital saat ini, media sosial menjadi platform utama dalam menyebarkan informasi. Dari berita politik hingga tips kesehatan, hampir semua bisa kita temukan hanya dengan menggulir layar ponsel. Namun, di balik kemudahan itu, tersimpan tantangan besar—yakni penyebaran berita palsu atau hoaks.

Hoaks tidak hanya menyesatkan publik, tapi juga bisa menimbulkan keresahan, bahkan mengancam stabilitas sosial. Untuk itu, pemerintah Indonesia telah menetapkan regulasi tegas dalam menanggulangi penyebaran hoaks. Berikut penjelasan lengkapnya.

Apa Itu Hoaks?

Secara umum, hoaks adalah informasi palsu yang sengaja dibuat untuk menipu atau memanipulasi opini publik. Informasi ini sering dikemas sedemikian rupa agar tampak meyakinkan dan memancing emosi pembaca.

Contoh hoaks bisa berupa:

  • Isu politik yang memecah belah masyarakat,

  • Informasi kesehatan yang menyesatkan,

  • Peringatan bencana alam palsu,

  • Hingga ujaran kebencian berbasis SARA.

Penyebaran hoaks kerap memanfaatkan media sosial seperti WhatsApp, Facebook, Instagram, atau X (Twitter). Platform-platform ini memiliki daya sebar informasi yang sangat cepat, apalagi jika tidak disertai dengan sikap kritis dari penggunanya.

Dasar Hukum Penyebaran Hoaks di Indonesia

Indonesia memiliki beberapa perangkat hukum yang digunakan untuk menangani kasus penyebaran hoaks. Yang paling dikenal adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yaitu UU Nomor 11 Tahun 2008 yang telah diperbarui menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016.

Beberapa pasal yang relevan, antara lain:

🔹 Pasal 28 Ayat (1) UU ITE

“Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik dapat dipidana.”
Hukuman: Penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda hingga Rp 1 miliar.

🔹 Pasal 45A Ayat (1) UU ITE

“Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong yang menyebabkan keonaran di masyarakat dapat dipidana.”
Hukuman: Penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda hingga Rp 1 miliar.

Selain UU ITE, penyebaran informasi palsu juga dapat dijerat menggunakan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), terutama jika menyangkut ketertiban umum, penghinaan, atau pencemaran nama baik.

Bagaimana Proses Penanganannya?

Jika seseorang merasa dirugikan oleh hoaks, langkah pertama yang bisa dilakukan adalah melaporkannya ke aparat penegak hukum seperti Polri atau mengadukannya melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Biasanya, proses hukum akan mencakup:

  • Pelacakan sumber informasi melalui jejak digital (digital forensic),

  • Pemeriksaan bukti pendukung seperti tangkapan layar (screenshot), rekaman percakapan, atau tautan,

  • Analisis dampak sosial dan psikologis dari penyebaran hoaks tersebut.

Dalam praktiknya, Kominfo juga memiliki mesin pengais konten negatif (AIS) untuk mendeteksi dan men-takedown informasi palsu yang beredar secara masif di internet.

Apa Dampaknya bagi Penyebar Hoaks?

Banyak orang tidak menyadari bahwa menyebarkan hoaks, meskipun hanya sekadar meneruskan pesan dari grup WhatsApp, bisa berujung pada pidana.

Selain ancaman penjara dan denda, pelaku penyebar hoaks juga bisa menghadapi:

  • Kehilangan reputasi pribadi atau profesional,

  • Pengucilan sosial,

  • Sanksi dari tempat kerja atau institusi pendidikan,

  • Dan tentu saja, rekam jejak digital yang sulit dihapus.

Seperti kata pepatah digital:

"Apa yang sekali dibagikan di internet, tidak akan pernah benar-benar hilang."

Cara Mencegah Penyebaran Hoaks

Sebagai pengguna aktif media sosial, kita semua memiliki peran penting dalam menghentikan rantai penyebaran hoaks. Berikut beberapa tips sederhana namun krusial:

Cek Kebenaran Informasi: Gunakan situs seperti cekfakta.com, turnbackhoax.id, atau sumber berita resmi.
Waspadai Judul Provokatif: Hoaks biasanya memiliki judul sensasional untuk menarik klik dan emosi.
Jangan Asal Share: Jika ragu, lebih baik tahan diri daripada ikut menyebarkan informasi yang belum jelas.
Edukasi Lingkungan Sekitar: Ajak keluarga dan teman untuk lebih bijak bermedia sosial.

Penyebaran hoaks bukan sekadar isu sepele. Dampaknya bisa meluas, mulai dari menimbulkan keresahan hingga mengganggu ketertiban umum. Di sisi lain, menyebarkannya juga bisa membuat kita terjerat hukum, bahkan hanya dengan satu kali klik "bagikan".

Sebagai warga digital yang cerdas, sudah semestinya kita lebih kritis, bertanggung jawab, dan berhati-hati dalam menyikapi informasi yang beredar. Dengan memahami hukum yang berlaku dan ikut menjaga etika digital, kita bisa bersama-sama menciptakan ruang media sosial yang lebih sehat dan produktif.


Bagaimana pendapatmu?
Apakah kamu pernah hampir membagikan hoaks tanpa sadar?
Atau mungkin kamu punya pengalaman pribadi soal ini?

Yuk, tulis di kolom komentar dan bagikan artikel ini agar semakin banyak orang yang sadar!


LihatTutupKomentar