Retributive Justice vs. Restorative Justice: Mana yang Lebih Efektif dalam Sistem Hukum?

Terimakasih telah mengunjungi halaman ENVERITA.COM, kami sangat menghargai waktu anda dan berharap anda menemukan apa yang anda cari. Jangan ragu untuk menghubungi kami jika ada pertanyaan atau kebutuhan lebih lanjut.




Dalam sistem hukum pidana, terdapat dua pendekatan utama dalam menangani kejahatan, yaitu retributive justice (keadilan retributif) dan restorative justice (keadilan restoratif). Keduanya memiliki cara pandang dan tujuan yang berbeda dalam memberikan keadilan, baik bagi korban, pelaku, maupun masyarakat.

Lantas, mana yang lebih efektif diterapkan, khususnya dalam konteks hukum di Indonesia?

Apa Itu Retributive Justice?

Retributive justice adalah pendekatan hukum tradisional yang berfokus pada pemberian hukuman kepada pelaku kejahatan. Prinsip dasarnya adalah “siapa yang berbuat, dia harus bertanggung jawab”. Hukuman bisa berupa denda, pidana penjara, atau bahkan hukuman mati di negara-negara tertentu.

Pendekatan ini berpijak pada konsep lex talionis atau hukum balas setimpal, yakni "mata ganti mata, gigi ganti gigi". Kejahatan dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum negara, bukan hanya terhadap individu korban.

Kelebihan Retributive Justice:

  • Memberikan rasa keadilan yang jelas dan tegas bagi korban serta masyarakat.

  • Memberikan efek jera terhadap pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya.

  • Menjamin kepastian hukum dengan sanksi yang telah diatur dalam undang-undang.

Namun, pendekatan ini sering dikritik karena lebih menekankan pada hukuman fisik ketimbang pemulihan dampak psikologis terhadap korban. Selain itu, tingkat residivisme (pengulangan kejahatan) tetap tinggi—banyak narapidana yang kembali melakukan kejahatan setelah bebas. Bahkan dalam beberapa kasus, mantan narapidana merasa “bangga” pernah dipenjara karena mendapatkan pengakuan dari lingkungan sosialnya.

Apa Itu Restorative Justice?

Berbeda dengan pendekatan retributif, restorative justice lebih menekankan pada pemulihan hubungan dan tanggung jawab sosial, bukan hanya penghukuman.

Dalam sistem ini, pelaku kejahatan didorong untuk mengakui kesalahannya, meminta maaf secara tulus, dan memberikan ganti rugi atau kontribusi positif kepada korban. Proses ini biasanya dilakukan dalam forum mediasi yang melibatkan korban, pelaku, keluarga, serta pihak ketiga netral seperti mediator, tokoh masyarakat, atau penegak hukum.

Seperti yang dikatakan oleh Howard Zehr, pelopor konsep keadilan restoratif:

“Crime is a wound. Justice should be healing.”
(Kejahatan adalah luka, dan keadilan seharusnya menjadi proses penyembuhan.)

Kelebihan Restorative Justice:

  • Memberi ruang bagi korban untuk menyampaikan perasaan dan kebutuhan mereka.

  • Membantu pelaku memahami dampak kejahatannya secara langsung dan emosional.

  • Mengurangi kemungkinan pengulangan kejahatan karena pelaku merasa bertanggung jawab secara moral.

  • Menghemat waktu dan biaya dibandingkan dengan proses peradilan formal yang panjang dan mahal.

Mana yang Lebih Efektif?

Jawaban atas pertanyaan ini tidak bisa disamaratakan, karena efektivitasnya bergantung pada jenis kejahatan, latar sosial, dan tujuan pemidanaan itu sendiri.

  • Untuk kejahatan berat seperti pembunuhan, penyiksaan, atau kekerasan seksual, pendekatan retributif dianggap lebih tepat. Hukuman yang tegas dianggap mampu memberikan keadilan bagi korban dan masyarakat luas serta menjaga ketertiban umum.

  • Sebaliknya, untuk kejahatan ringan seperti pencurian kecil, perundungan, atau konflik sosial, restorative justice terbukti lebih efektif. Pendekatan ini mendorong penyelesaian yang damai dan jangka panjang serta dapat mencegah pelaku mengulangi perbuatannya.

Beberapa negara seperti Kanada, Selandia Baru, dan Norwegia telah sukses mengadopsi model restorative justice dalam sistem hukum mereka, khususnya untuk anak di bawah umur dan kasus non-kekerasan.

Di Indonesia sendiri, restorative justice mulai dikenal dan diterapkan, terutama sejak adanya Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 yang mengatur tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Pendekatan ini juga sejalan dengan nilai-nilai lokal seperti musyawarah dan kearifan lokal dalam menyelesaikan konflik.

Kolaborasi Keduanya Bisa Jadi Solusi Ideal

Restorative justice bukan berarti membiarkan pelaku bebas tanpa konsekuensi, melainkan memberikan cara yang lebih manusiawi untuk bertanggung jawab dan memperbaiki keadaan. Di sisi lain, retributive justice tetap penting sebagai fondasi kepastian hukum dan efek jera.

Idealnya, kedua pendekatan ini tidak dipertentangkan, melainkan saling melengkapi. Menggabungkan keduanya bisa menjadi jalan menuju sistem hukum yang lebih adil, efektif, dan berperikemanusiaan.

Bagaimana menurut kamu?
Apakah restorative justice bisa menjadi masa depan peradilan di Indonesia? Atau kamu masih percaya bahwa hukuman tegas lebih diperlukan?

Tulis pendapatmu di kolom komentar dan mari berdiskusi dengan bijak!

LihatTutupKomentar